Aku berharap kamu selamanya melupakan wajahku, Ki. Batinnya dalam hati.
Tiba-tiba, wanita itu seperti merasakan energi kuat yang menarik paksa tubuhnya. Menarik ke masa sepuluh tahun silam.
Saat dirinya masih berbangga dengan jas almamater biru tuanya.
~
Suara kasak kusuk dan orang yang bercakap-cakap membuat Andini terbangun. Di dalam ruangan hanya ada ibunya yang sedang merapikan isi lemari di samping tempat tidurnya.
"Ramai sekali di luar, bu,"
Ibunya sedikit terkejut mendengar suara Andini.
"Oh, iya. Itu teman-temanmu yang menjenguk. Karena kamu tidur, jadi tidak enak kalau menganggu. Akhirnya mereka menunggu di luar. Biar ibu panggilkan, ya." Andini tidak sempat menyahut saat ibunya kemudian keluar dari kamar.
Beberapa menit kemudian, kamar tempat Andini dirawat seperti bukan ruang rawat inap rumah sakit. Suara orang tertawa dan mengobrol riuh sekali.
Sesekali Andini menanggapi, meski sambil meringis-ringis, karena jujur saja ia masih merasa sangat lemas
Seumur-umur, baru kali ini Andini merasakan sakit yang bikin lunglai tidak berdaya. Tipes. Penyakit sejuta mahasiswa di kampusnya.
Saking banyaknya yang terkena penyakit ini, mungkin jumlahnya sebelas dua belas dengan yang terkena flu. Parah kan?
Tapi, tetap saja teman-temannya berbondong-bondong menengok Andini, meski penyakitnya dikatakan sekelas penyakit flu.
Menjelang adzan maghrib, teman-teman Andini berpamitan pulang.
"Cepet sembuh ya, Din, susah gue kalo praktikum enggak ada lo." Kata Geri temen sekelasnya di jurusan.
"Ah, parah, lo, Ger! Mau enaknya doang." Sebelah tangan seorang teman menoyor kepala Geri diikuti gelak tawa teman-teman Andini yang lain.
Berduyun-duyun teman Andini menyalami ibunya sebelum keluar ruangan. Andini cuma bisa tersenyum tipis saat mereka pergi. Lemas.
"Banyak sekali teman-temanmu, Din,"
"Ya, bu, tadi itu beberapa teman sekelas dan organisasi." Jawab Andini menjelaskan.
Ibunya lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Andini hendak memejamkan mata sejenak saat terdengar ketukan di pintu ruang rawat inapnya.
"Ya? Masuk." Andini berusaha mengeraskan suaranya.
Sedetik kemudian seraut wajah muncul dari balik pintu.
"Hai," ucapnya.
Hai? Dahi Andini mengernyit heran.
Tepat saat itu ibu Andini keluar dari kamar mandi. Wajah beliau juga sama kagetnya dengan Andini. Mungkin pikirnya, preman pasar darimana ini.
Ibu menatap Andini bertanya.
"Ini teman Dini, bu," Andini menjawab tanda tanya besar di wajah ibunya.
Mendadak suasana menjadi hening membingungkan.
"Saya cuma mau nganterin ini aja kok, bu," Laki-laki yang masih diambang pintu itu akhirnya memberikan tentengan yang dibawanya.
"Oh, ya, terima kasih ya, nak," ucap ibu Andini.
"Ah, ya, bu, sama-sama."
"Saya pergi dulu, bu, permisi," lanjut laki-laki itu lalu menutup pintu.
Tinggal lah ibu Andini yang keheranan. Sama herannya dengan Andini.
~
Keesokan harinya, saat rasa lemas di tubuhnya sedikit berkurang, baru lah Andini membuka tentengan yang semalam dibawa laki-laki itu.
Andini tersenyum kecil. Beberapa majalah national geographic, majalah bobo, dan majalah-majalah lain, yang semuanya edisi lama.
Satu-satunya buah tangan unik yang masuk ke ruang rawat inapnya.
"Itu yang semalam datang, teman Dini?" Ibunya bertanya.
"Ya, bu." Jawab Andini singkat.
"Teman satu jurusan?"
"Bukan, bu."
"Satu fakultas?"
Andini menggeleng lagi.
"Terus, Dini kenal dimana?"
Ibunya masih mencecar. Mungkin sedikit kaget dan heran, ada mahasiswa model laki-laki semalam yang berteman dengan anaknya.
"Pernah satu kepanitiaan, bu,"
"Oh…" Ibunya mengangguk paham.
"Dekat dengan Dini?"
Andini sedikit kaget mendengar pertanyaan ibunya.
Tapi, memang tidak salah bila ibunya terkaget begini.
Rasa-rasanya laki-laki yang semalam datang itu sama sekali bukan inner circle seorang Andini.
Pertanyaan ibu Andini tidak terjawab jelas karena dokter datang untuk mengecek keadaan Andini.
~
Sore harinya, laki-laki itu datang lagi. Kali ini Andini sengaja tidak melihatnya, karena Andini memejamkan mata, pura-pura tidur.
Andini pikir laki-laki itu akan cepat pergi, tapi ternyata ia malah asyik mengobrol dengan ibunya.
Andini pikir juga ibunya akan tidak nyaman, tetapi ternyata laki-laki itu bisa menjadi teman berbincang yang baik. Bahkan mereka mengobrol lama sekali sampai Andini benar-benar tertidur.
~
Kepanitiaan pengenalan kampus mahasiswa baru menjadi tempat Andini bertemu laki-laki itu. Kepanitiaan besar yang menggabungkan mahasiswa-mahasiswa tingkat dua dari berbagai jurusan dan fakultas untuk saling bekerja sama.
Mereka berdua bukan teman satu divisi. Mereka hanya dua orang berbeda divisi yang harus saling berkoordinasi. Tepatnya, terpaksa berkoordinasi bagi Andini.
Ah, Andini memang bersalah. Ia meremehkan dan jujur merendahkan laki-laki itu saat melihat penampilannya yang urakan dan sangat melanggar aturan kampus.
Lalu, apa?
Mereka berdua malah menjadi teman mengobrol, diskusi, bertukar pikiran yang solid?
Solid?
Ah, entahlah, dengan laki-laki itu rasanya Andini seperti menemukan sahabat karib yang lama terpisah.
Andini pikir setelah kepanitiaan itu selesai, berakhir juga interaksi-interaksi dengan laki-laki itu.
Nyatanya, tidak.
Dimulai dari kunjungan di rumah sakit itu.
Andini merasa laki-laki itu seperti menerabas jarak yang ia bangun.
Lalu suatu hari, laki-laki itu bertanya.
"Kalau kita resmikan saja hubungan kita bagaimana?"
Andini seperti merasa tertampar.
Jadi, laki-laki itu menaruh harapan pada interaksi-interaksi mereka?
Pelan-pelan Andini menjauh. Meski dari dasar nuraninya, Andini merasa terluka.
Dunianya beberapa saat sunyi. Tapi, ia tenang karena beginilah hidupnya. Tenang. Interaksi-interaksi dengan laki-laki itu membuat riuh hidupnya meski ia sedikit bahagia.
~
Seperti klisenya drama percintaan, di suatu sore saat hujan turun, laki-laki itu datang berkunjung ke rumah.
Bagaimana bisa Andini menolak kunjungan laki-laki itu kalau ibunya saja menyambut dengan hangat?
Seolah penampilan luar laki-laki itu sama sekali tidak penting begitu kita tahu isi otak lewat tutur katanya.
Andini sepertinya gagal memahamkan ibunya bahwa berdua-duaan saja dengan laki-laki itu di ruang tamu dilarang agama. Alhasil, sepanjang hujan turun, dirinya dan laki-laki itu bersama-sama diam.
Laki-laki itu terlihat sangat menikmati hujan yang tercium aromanya sampai ke ruang tamu.
Tidak dengan Andini. Ia sibuk melafalkan kalimat mohon ampun pada Sang Pencipta dan berharap laki-laki itu cepat berpamitan.
"Maafkan aku," kata laki-laki itu.
Kalimat yang membuat Andini keheranan.
Semakin heran saat mendengar kelanjutan kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu.
~ Bersambung ~
#ODOPbatch5
#Onedayonepost
What? kok bersambung sih... hiks....
BalasHapusseru banget mba, aku dapet feelnya... mantab
Hehehe 😅 Sabar menanti ya mbak... Terima kasih sdh berkunjung 😄
Hapus