Ada masanya saya begitu pengen menikah muda. Sampe dimana-mana kalau ditanya ada keinginan apa, langsung teringat, pengen nikah muda!
Sungguh naif sekali pada zamannya.
Hal yang dipikirkan cuma enak-enaknya menikah aja. Lebih terjaga, ada tempat curhat 24 jam, ada yang menafkahi, and so on. Keinginan yang cuma diisi pengetahuan indahnya menikah aja dan enggak diimbangi dengan wawasan tentang rentetan resiko dan kewajiban setelah menikah.
Ada kali 2 tahun-an yang saya terus berdo'a, 'Ya Allah, dekatkanlah jodoh hamba'. Lalu akhirnya tersadar karena ketemu sahabat-sahabat yang bisa diajak bertukar pikiran bahwa menikah enggak seindah itu lho. Ya, mungkin ada part indahnya, tapi enggak melulu indah.
Karena pengetahuan baru tersebut akhirnya redaksi do'anya berubah. Keinginan untuk menikah pun enggak semenggebu dahulu kala.
Jadi pelajaran penting bahwa menikah itu enggak sekadar kepengen doang. Triggernya bisa kepengen itu sih. Tapi, setelah kepengen itu harus diimbangi aksi untuk cari tahu seluk beluk kehidupan pernikahan. Sebagai insight diri kita sendiri. Beneran enggak kita kepengen nikah? Kepengen yang memang diri kita sudah siap dengan segala tanggungjawab yang menyertainya, atau kepengen karena baper ngelihat kebahagiaan pasangan muda halal kekinian?
To the wedding by Pinterest |
Menikah itu enggak bahagia terus loh isinya.
Di surga kali itu yang isinya thok kebahagiaan. Karena dimensi pernikahan itu masih terjadi di alam dunia, harus siap kalau nanti ketemu saatnya perasaan kita berdarah-darah menahan pilunya ujian pernikahan. Sebabnya entah ujian dari luar kita dan pasangan, misalnya ngerasain enggak nyamannya diteror karena belum punya momongan, atau konflik internal dengan pasangan.
Harus belajar mengelola perasaan.
Ketika mengikrarkan diri siap menikah, harus siap mengurangi dan bahkan mengikis perasaan yang terlalu sensitif alias baper. Ada kalanya kita enggak perlu terlalu memikirkan sesuatu hal alias santai aja lah. Ada kalanya pula kita perlu merenung dan mendalami ketika akan membuat suatu keputusan.
Contohnya nih, udah capek-capek masak sesorean, tapi suami enggak makan malam di rumah. Meskipun rasa hati pengen bantingin piring dan gelas keinget capeknya masak, yang kayak gitu enggak perlu terlalu dibawa perasaan. Mungkin suami punya alasan kenapa enggak makan malam di rumah. Bisa jadi menghormati teman-teman kantor yang ngadain acara syukuran atau terlalu capek jadi sampe rumah langsung pengennya istirahat. Contoh lain, misal suami ngajakin ngambil kredit barang xxx nih. Baiknya enggak asal 'Iya deh. Gimana mas suami aja', tapi dipelajari dulu, jadikan bahan diskusi berdua. Masalah kredit, utang, enggak menyangkut suami doang kan. Kita sebagai istri juga harus tahu dan paham.
Nah, kalau sekarang masih single dan gampang banget sensi atau baper, mungkin Allah pengen kita belajar lagi untuk ngurang-ngurangin bapernya, sebelum ketemu ujian perasaan yang lebih dahsyat dalam kehidupan berumah tangga.
It takes two to tango.
Berkaitan sama poin kedua soal mengelola perasaan. Enggak cuma istri doang, atau suami doang yang perlu belajar. Kedua belah pihak harus sama-sama belajar dan saling pengertian. Misal nih, masih melanjutkan contoh di poin kedua. Pas udah disiapin makan malam sama istri, meski perut udah kenyang, paling enggak icip dikit lah masakan istri. Atau kalau udah enggak kuat makan lagi, temenin lah istrinya itu di meja makan. Mungkin istri-istrimu rela nahan laper lho, pak bapak, demi bisa makan malam bersama. Jadi, sama-sama saling peka aja lah.
Apalagi kalau udah ngomongin parenting. Wah bisa jadi satu bahasan sendiri ini mah. Misal pengen punya anak yang sholeh-sholehah, cerdas, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Eh, tapi, enggak meluangkan waktu quality time sama anak (to bapak-bapak mostly) dan nyerahin semua tugas yang berkaitan sama anak ke istri doang. Nay, nay! Bagai pungguk merindukan bulan dong.
Kalau mau punya anak yang high quality, orangtuanya juga harus high quality dulu. Salah satunya, harus mau bersusah payah untuk mendalami ilmu parenting bareng-bareng. (Wkwkwk yang nulis ibu-ibu sih ya. Mohon maap kalau nyerang bapak-bapaknya terus. Kebeneran aja kayak gitu studi kasus yang kepikiran #Ngeles).
Masalah menjadi jauh complicated.
Yes, kalau ngerasa kehidupan saat single udah penuh masalah, jangan khawatir, ujian belum selesai sampai di situ. Namanya kehidupan dunia, ya, pasti penuh ujian dan cobaan. Kalau kehidupan lempeng-lempeng aja, antara Istidraj atau ujiannya lewat kelempengan itu. Nah, masalah rumah tangga jauh lebih pelik daripada masalah saat masih single dulu. Zaman masih mahasiswa, kita bakal pusing tujuh keliling liat rekening yang udah tinggal beberapa digit padahal kiriman ortu berikutnya masih jauh. Hm, kalau udah nikah lebih pelik lagi, karena yang dipikirin enggak cuma diri sendiri, tapi, ada pasangan, anak yang mungkin enggak cuma satu, belum lagi kalau ada yang masih di kandungan. Yes, marriage push yourself to be tough as ever!
Menikah itu jebakan betmen?
Hm, ya, iya sih, kayak gitu kalau kita ngelihat menikah sekedar prosesi kehidupan dunia semata.
Nyesel kan udah nikah?
Hm, ya enggak gitu juga.
Inspite of segala hal yang kayaknya enggak mudah saat menjalani kehidupan pernikahan, dengan menikah kita naik tingkat untuk menjalani fase kehidupan berikutnya.
Kalau buat saya pribadi, pernikahan memaksa saya untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang selanjutnya dan seterusnya. Kalau menengok ke belakang dan posisi saya belum menikah, tantangan yang saya hadapi mungkin bakal itu-itu saja.
Ya, meskipun saat ini pun saya masih sering ketemu masalah-masalah yang itu-itu lagi. Tapi, feelnya beda dan lagi-lagi dipaksa untuk menjadi lebih dewasa sekaligus bijak, karena secara status pun udah berubah menjadi seorang istri dan ibu.
Satu hal yang saya sesali tentang kehidupan pernikahan ini adalah ketidaksiapan saya menyiapkan kehidupan pernikahan.
Menikah dengan modal kepengen doang itu sah-sah aja sih. Cuma ya harus siap zonk kalau kepengenan itu tidak disertai banyak ilmu.
Kayak saya.
Minus banget pengetahuan soal kehidupan pernikahan makanya zonk.
Makanya, saat single adalah best moment untuk cari ilmu sebanyak-banyaknya. Jadi, nanti pas sudah nikah dan punya anak, ibarat naik kendaraan udah enak aja gitu tinggal jalan. Ya, kalau lupa-lupa dikit, liat contekannya juga sekilas aja buat memantik ilmu yang udah dipelajari.
Enggak kayak saya yang kalau diibaratkan, nyetir sambil buka peta sambil ngecek posisi spion kendaraan udah bener atau belum. Ibaratnya di perjalanan itu sambil ngapalin jalan dan sambil ngelancarin bawa kendaraan. Repot kan?
Tapi, ya, enggak usah disesali berlarut-larut. (Menghibur diri sendiri).
Sekarang pe er nya adalah enggak boleh skip belajar. Harus makin rajin belajar, baca, cari ilmu. Meskipun jadi kayak kuis dadakan. Baru baca teori langsung diuji suruh nge-aplikasiin. Mantap kan?
Apapun itu tetap lebih banyak yang saya syukuri daripada yang disesali.
Semoga bermanfaat.