Kalau melempar pertanyaan, ‘Apa, sih, tujuan menikah?’
Mungkin jawabannya bisa macam-macam. Ada yang menikah karena tuntutan orang tua, mungkin usia yang tidak lagi muda, merasa fase hidupnya belum lengkap tanpa menikah, karena merasa butuh dicintai, menikah sebagai sarana beribadah, de el el, de el el.
Tujuan atau motif yang kita miliki akan menentukan kelangsungan ikhtiar yang kita jalani. Makin besar atau kuat tujuannya, bikin makin tidak mudah menyerah. Ibarat amal yang balasannya surga, jalan menempuhnya pasti nggak mudah, kan?
Ambil satu contoh tujuan menikah adalah untuk ibadah. Btw, saat menjomlo juga nggak lepas dari kewajiban beribadah, kan?
So, fine-fine, aja dong kalau belum menikah asalkan tetap beribadah?
Selama kita berada dalam ketaatan dan terus beribadah kepada Allah, kondisi jomlo atau menikah harusnya nggak menjadi masalah.
Tapi, tahu nggak, sih?
Keluarga muslim adalah tiang dalam peradaban Islam. Kuat, utuh, atau tercerai berainya masyarakat dipengaruhi oleh kondisi keluarga.
Kalau kita merasa resah dengan kondisi negara ini. Kok gini banget, sih, kejahatan merajalela, keadaan kacau balau, dan lain-lain.
Tekadkan minta pada Allah, inginnya kita menikah karena ingin menjadi bagian perbaikan masyarakat. Jadi, nikah nggak untuk kebaikan pribadi doang. Tapi, ada tujuan yang lebih besar yang ingin kita capai, yaitu menjadi batu bata pembangun peradaban.
Semua Pasti Diuji
Nah, dalam perjalanan mencapai tujuan pasti ada ujiannya masing-masing.
Mungkin yang masih dalam masa mencari atau menunggu kadang merasa galau dengan proses yang… kok lama… kok tidak ketemu-ketemu, ya, dengan jodohku?
Semua orang pasti berproses. Supaya kita bisa menikmati proses milik kita, salah satu tips yang dinukil dari vlog pernikahannya mbak Syamsa Hawa adalah hentikan melihat kanan kiri. Stop mikir, 'Enak, ya, ukhti A, taarufnya cepet, bla, bla, bla. Sekali masuk proposal langsung jadi, dll'. Itu bikin kita buta dan nggak bisa mensyukuri proses diri sendiri. Kita cuma melihat yang orang lain alami dari sisi depan, kita nggak tahu sisi-sisi lain atau ujian yang mereka alami.
Fokus aja, deh, dengan proses sendiri, tanpa membanding-bandingkan, insya Allah itu bisa bikin hati lebih tenang dan pikiran lebih jernih. Hasil hati yang tenang dan pikiran yang jernih, kita akan mudah berbaik sangka sama Allah. Menikmati proses dan terus upgrade diri. Karena status single atau menikah sama sama hamba Allah yang punya kewajiban beribadah. Nggak mau kan, ratapan-ratapan karena tidak kunjung menikah malah mengurangi peluang beribadah?
Apa yang Kita Minta?
Udah tinggal count down hitungan hari saja sebelum Ramadan meninggalkan kita. Tapi, masih ada kesempatan merayu Allah di hari-hari terakhir Ramadan ini.
Nggak cuma soal menikah, sih. Kan, masalah nggak cuma dimiliki jomlo aja. Kita masing-masing punya masalah dan keinginan.
Tapi, yang lebih penting dari terwujudnya keinginan kita, adalah ampunan.
Ketika ampunan Allah sudah didapat, rasa-rasanya urusan lain sudah beres.
Bukan berarti jadi nggak punya masalah atau ujian apapun. Tapi, lebih ke sikap mental yang siap menghadapi semuanya.
Nikah bulan depan, hayuk. Masih harus menunggu juga nggak masalah. Karena jodoh sudah Allah tentukan. Tinggal masalah waktu aja, nih, dan balik lagi ke kitanya? Mau apa dengan waktu itu? Mengeluh dan terus bertanya, atau mau jadi produktif dan memaksimalkan ibadah?
Mengutip lagi dari vlog mbak Syamsa, sikap mudah bersyukur ini penting banget dilestarikan sejak dini. Kalau saat jomlonya mudah mengeluh, susah bersyukur, bukan ngedo'ain, tapi diprediksi akan lebih susah lagi untuk bersyukur saat sudah menikah. Karena kehidupan pernikahan jauh lebih kompleks dan jauh lebih banyak masalah daripada saat kita single. Kalau saat jomlo menjadikan bersyukur sebagai kebiasaan yang mudah dimunculkan, saat menikah insya Allah apapun up and downnya enteng aja, ngadepinnya. Mungkin faktor ini juga yang Allah jadikan ujian. Allah melihat, wah, hambaKu ini ngeluh mulu, apa kabar kalau nanti nikah. Jangan-jangan kalau dikasih rumah tangga malah jauh sama Aku (Allah) karena susah banget untuk bersyukur.
Misal dijembrengin, what must do dan what can do sebagi jomlo, betapa banyak yang bisa dilakukan. Rasanya jomlo itu sibuk dan nggak ada waktu untuk jadi bahan bully-an atau merasa tertekan dengan pertanyaan ‘Kapan Nikah?’.
Allahu a’lam.
Nice share mbak izza, sehat selalu 😉
BalasHapusAamiin... rina juga ya, makasih sudah mampir ke sini 😁
HapusNice share jg mb izza, kdg kita perlu direminder emg, jzk
BalasHapusReminder buat mbak pribadi juga. Semoga bermanfaat, tyas 😊
HapusSepakat. Hanya soal waktu. Tinggal, "Dengan apa kita menunggu?" Bukan sibuk bertanya harus menunggu sampai kapan ...
BalasHapusIya mba Saki... makasih sudah mampir ke sini,
HapusSemua sudah ada jalannya. Cepat atau lambat itu sudah ada waktunya. Nice artikel Mbak Izza..😊😊
BalasHapusBetul. Terima kasih sudah mampir, Mba Elin :)
Hapus