Memasuki usia 3 Tahun Aliyya, satu yang sering didiskusikan dengan suami adalah soal sekolah.
Salah satu opsinya adalah Homeschooling.
Sudah beberapa kali main ke websitenya Rumah Inspirasi yang ciamik membahas proyek keluarga, tumbuh kembang anak, dan serba serbi Homeschooling, pas ikutan webinar yang diisi oleh Mas Aar dan Mbak Lala (empunya Rumah Inspirasi) merasa mereka adalah orang tua yang asik!
Meskipun sekarang Homeschooling (HS) bukan sesuatu yang baru, tapi spontan kagum pas tahu beliau berdua adalah orang tua HS dari ketiga orang anak yang berusia 19, 16, dan 11 tahun.
Mas Aar dan Mbak Lala mengawali webinar dengan menyampaikan bahwa kondisi pandemi begini nggak lantas membuat mereka yang HS lebih mudah kondisinya. Mungkin banyak yang mikir, ‘Ah, yang HS, mah, udah biasa kalau harus disuruh belajar di rumah’.
Ternyata, kondisi saat ini juga menyulitkan kegiatan anak-anak HS. Mas Aar mencontohkan anak ketiganya yang salah satu kegiatan HS nya adalah basket, jadi tidak bisa melaksanakan seperti dulu.
FYI, webinar ini berlangsung selama hampir 3 jam dan tidak membosankan sama sekali.
Materinya sangat menyeluruh mulai dari membahas legalitas, proses belajar, filosofi, kelebihan, kekurangan, tantangan, dll, yang sebenarnya padat dan berat untuk bahasan A to Z Homeschooling dalam waktu yang terbatas.
Rangkuman saya pun juga hanya mengandalkan ingatan dan sedikit notes akan poin yang menurut saya ngena.
Memulai HS itu berangkat dari visi keluarga.
Ketika punya anak, apa sih yang kita sebagai orang tua inginkan untuk bekal mereka di masa depan agar bisa survive? Atau mbak Lala membahasakannya, menjalani takdir terbaik mereka.
Nampol banget, kan untuk refleksi diri sendiri sebagai orang tua?
Ketika memulai HS, kita mulai dari nol dan berangkat dari pertanyaan, apa yang dibutuhkan anak kita?
Ketika kita sudah tahu jawabannya, itu yang menjadi dasar untuk mencari tools (kurikulum, metode, media, dll) yang bisa disesuaikan dengan kondisi dan kecocokan dengan anak. Kita yang memilih tools apa yang efektif bagi anak.
Nah, bedanya menyekolahkan anak dengan HS adalah sekolah menyediakan seperangkat ilmu yang sudah dipaket-paket, diukur, dan diseragamkan. Kita sebagai orang tua menyerahkan anak pada sistem tersebut. Sementara HS, orang tua yang menjadi kepala sekolah dan membimbing anak untuk mendapatkan ilmu.
Pemateri menekankan bahwa HS bukan memindahkan sekolah ke rumah. Tetapi, HS menempatkan orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan anak.
Dari keluarga pemateri saya belajar istilah pembelajar mandiri.
Meskipun suami saya yang nggak ikutan webinar ini langsung bisa menyimpulkan bahwa itulah inti HS, membimbing anak untuk bisa menjadi seorang pembelajar yang mandiri.
Mas Aar mencontohkan anak yang secara alamiah bisa berjalan, berbicara, dan lain-lain.
Jadi, di satu titik, anak akan bisa melakukan semuanya sendiri. Asalkan...
Pemateri memasukkan sebuah filosofi yang mereka pegang bahwa anak bukan kertas kosong. Anak adalah seorang individu. Tugas kita sebagai orang tua yang diamanahi anak tersebut adalah memberikan stimulus untuk mengarahkan tumbuh kembang, serta bakat dan minatnya, agar anak bisa menjadi manusia seutuhnya.
Saya menangkap dari pemateri bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia cenderung akan menjadikan anak sebagai satu jenis individu yang sama, kontras dengan fakta bahwa anak adalah individu yang unik.
Modal penting untuk memulai HS adalah orang tua yang mau belajar. Pemateri juga mendorong orang tua agar banyak membaca karena ini yang menjadi bekal dalam perjalanan HS.
HS dilaksanakan atas dasar otonomi keluarga, kreatifitas, dan kebebasan.
Apa yang dipelajari di rumah, bebas. Apa kurikulum yang dipakai, juga bebas. Tanpa kurikulum, juga sah-sah saja.
Aktivitas teknis di keluarga pemateri yang dicontohkan adalah jadwal setiap minggu malam untuk berkumpul dan membahas apa yang ingin anak-anak mereka pelajari selama sepekan ke depan.
Komunikasi adalah salah satu yang penting dalam menjalani HS. Maka, ngobrol dan sering bertanya pada anak, menjadi sesuatu yang harus dibiasakan.
Fokus pendidikan di HS pada tahun-tahun pertama adalah practical life skill*, baru berikutnya ke ilmu-ilmu yang sifatnya akademis, atau yang sesuai dengan minat anak.
Berangkat dari memahirkan practical life skill, saya merasa anak dilatih menjadi pribadi yang mau dan berani melakukan segala sesuatu secara mandiri. Di fase ini kemandirian menjadi prioritas untuk menjadi pondasi di fase-fase belajar selanjutnya.
Ketika anak berlatih mandiri, lalu mendapatkan pendampingan yang baik dari orang tua, akan menjadikan anak yang pada dasarnya punya rasa ingin tahu yang besar, terjaga semangatnya untuk terus ingin belajar.
Misal, anak tertarik fenomena hujan, gunung meletus, atau apa lah. Berarti proyek itu yang akan dijadikan bahan belajar. Ketertarikan itu muncul dari diri anak sendiri. Praktik proyeknya mungkin bisa dibantu orang tua atau bisa juga mereka ingin melakukannya sendiri. Ini bayangan saya dari apa yang mas Aar sampaikan.
Nah, untuk anak usia dini, saya dapatkan poinnya di akhir tanya jawab, bahwa anak usia tersebut masih banyak bermain. Proses belajar hanya sekitar 30 menit. Selebihnya, main, main, dan main! Di sini saya merasa orang tua anak usia dini harus luar biasa kreatif dan ulet, supaya bermain tetap menjadi stimulus belajar.
Saya baru tahu juga kalau di HS nggak harus selalu orang tua yang menjadi guru bagi anak, karena poinnya adalah orang tua sebagai pemegang kendali dan arah. Jadi, nggak selalu harus turun ke teknis, meskipun itu disesuaikan dengan value pendidikan yang dibawa masing-masing keluarga.
Mas Aar mencontohkan di keluarga mereka, anak bungsu yang minat dengan catur, dibimbing oleh guru yang ahli catur.
Despite HS yang membuat kita bebas menentukan pendidikan seperti apa untuk anak, menantangnya HS adalah usaha yang lebih dari orang tua untuk mau banyak baca dan belajar.
Jujur bagi saya pribadi, untuk menentukan kurikulum atau tidak pakai sama sekali dan segala teknis yang akan dipelajari saking bebasnya dan harus digali sendiri oleh orang tua adalah hal yang sangat menantang.
Kalau sebagai orang tua tidak siap dengan proses belajar dan segala kerepotannya, misal harus pilah pilih kurikulum atau tools apa yang akan diterapkan pada anak, daripada stres, lebih baik serahkan pendidikan anak ke sekolah. Karena sekolah pun bukan pilihan yang buruk. Begitu yang dituturkan mbak Lala.
HS atau sekolah adalah salah satu dari sekian banyak pilihan-pilihan dalam hidup dan HS adalah alternatif pendidikan yang legal di Indonesia. Hanya Jerman, negara yang tidak mengakui Homeschooling atau Home Based Education.
Selain banyak belajar dan membaca, kepekaan orang tua juga penting untuk mengenali minat anak dan apa yang ingin dikembangkan. Kenapa minat ini penting? Sebab anak pada dasarnya akan mudah belajar ketika ia butuh dan ia suka (minat). Satu tantangan teknis bagi orang tua, agar ilmu atau value yang ingin kita tanamkan ke anak menjadi sesuatu yang ia butuhkan sekaligus ia sukai.
Investasi terbesar untuk menyekolahkan anak adalah uang. Bener, nggak? Sementara untuk HS yang penting adalah waktu.
Orang tua harus mau meluangkan waktunya untuk belajar, memikirkan dari nol mau dibawa ke mana pendidikan anak-anak, banyak baca untuk referensi, dan lain-lain. Effortnya memang luar biasa ketimbang menyekolahkan anak yang tinggal bayar dan maunya terima beres. Satu yang jelas, akan beda output anak yang sekolah formal dan anak HS.
Saat menjalani hari-hari HS pun, orang tua harus pintar-pintar mengatur waktu supaya tidak keteteran mengerjakan tanggung jawab sebagai ayah dan ibu, sekaligus guru bagi anak.
Terus gimana, dong, kalau kita sebagai ortu masih kacau dalam manajemen waktu atau harus bekerja di luar rumah yang tidak fleksibel waktunya?
Saya mengutip dari sharing bersama praktisi HS lain, bahwa HS adalah proses juga bagi orang tua. Proses belajar dan memperbaiki diri menjadi lebih baik termasuk soal mengatur prioritas menggunakan waktu.
Soal orang tua yang bekerja, ternyata nggak masalah, selama masalah manajemen waktu bisa diatasi. Atau opsi lainnya adalah mendelegasikan pengawasan pada orang lain, tapi, yang mengatur ini itunya sebagai kepala sekolah tetap orang tua. Ini dicontohkan oleh pemateri, ada praktisi HS yang kedua orang tua bekerja, anak menjalani HS dengan pengawasan kakek-neneknya.
Pilih Homeschooling atau Tidak
Sampai selesai mengikuti Webinar, saya terbakar semangat untuk bisa melaksanakan Homeschooling. Tapi, HS atau tidak harus dipikirkan matang-matang, karena ini keputusan besar. Meskipun bisa-bisa saja ketika anak sudah sekolah formal, lalu tiba-tiba di HS-kan, atau sebaliknya. Ini dijelaskan detil oleh pemateri. Saya pribadi menganggap ketika sudah memutuskan untuk HS harus total dan sadar sepenuhnya untuk melaksanakan hal itu. Bukan karena semangat yang angot-angotan. Wajar ketika semangat turun, hinggak kita burnout, solusinya adalah break sampai kita bisa refresh kembali. Tapi, kalau dengan break semangat kita nggak naik lagi, mungkin ada yang salah dengan proses HS yang dilakukan, entah visi awal, atau HS is not the way, atau yang lain. Makanya, di akhir materi pun, pemateri menjadikan ini sebuah bahasan serius yang bahkan harus didukung sholat istikhoroh untuk meminta petunjuk-Nya. Yes, nggak cuma nikah doang yang diiringi sholat isikhoroh.
Semoga bermanfaat.
Mantap za...
BalasHapusHehehehe hanya mengulas, pin... makasih lho udah mampir :)
HapusBuat aku ini dilematis banget, Zah, wkwkk. Tapi, aku pribadi punya pertimbangan darurat, semisalnya nih, pagebluk ini masih betah sampai tahun depan, besar kemungkinan aku milih HS buat dijah sampai keadaan benar-benar "normal". Miris sih, karena topik sekolah kayak gini memang lagi hot issue banget sekarang. Padahal, Khadijah udah minta sekolah mulu dari kapan tau, hiks.
BalasHapusIya, ya, pandemi jadi bikin prioritas orang2 soal sistem sekolah berubah.
Hapus